Kerukunan antar agama memperkuat komunikasi lintas budaya
Kerukunan antar agama memperkuat komunikasi lintas
budaya
Oleh : Rere Agita Putri
1. Pendahuluan
Indonesia
merupakan Negara multicultural, memiliki banyak suku bangsa, memiliki budaya
dan tradisi yang beragam dan memiliki agama-agama penyatu kebangsaan. Sesuai
dengan ideology Indonesia yaitu pancasila, pengamalan sila-sila pancasila
sangatlah tercemin di kehidupan masyarakat Indonesia. Teutama sila pancasila
pertama “ketuhanan yang maha esa”. Sila ini sangatlah menggambarkan kehidupan
beragama di Indonesia, yang hampir seluruh masyarakatnya memiliki agama dan
kepercayaannya masing-masing.
Karena
beragamnya agama di Indonesia , tidak jarang menimbulkan konflik di antara
penganut agama. Sehingga dengan adanya konflik yang terjadi dapat memperburuk
komunikasi yang sudah terjalin baik di masyarakat. Seperti yang kita tahu,
dalam kehidupan bermasyarakat snagat tidak mungkin jika kita tidak melakukan
suatu hal yang tidak mengguanakan unsur komunikasi, karena sudah kodrat kita
sebagai mahluk sosial yaitu untuk berkomunikasi dengan orang lain. Oleh karena
itu, Untuk menghindari konflik yang dapat terjadi, diperlukan adanya sifat
toleransi antarsesama dalam kehidupan bermasyarakat.
Oleh
karena itu, di tulisan ini, saya akan membahas mengapa kerukunan antar agama
dapat memperkuat komunikasi lintas budaya.
2. Pembahasan
Isi
Seperti yang
kita ketahui, di Indonesia memiliki beragam agama maupun kepercayaan. Agama
yang sudah disahkan keberadaannya oleh pemerinta Indonesia ada 6, yaitu islam,
Kristen, katholik, budha, hindu dan konghucu.[1]
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 oleh BPS Indonesia, Pemeluk agama
Islam pada tahun 2010 sebanyak 207,2 juta jiwa (87,18 persen). Pemeluk agama
Kristen 16,5 juta jiwa (6,96 persen). Lalu pemeluk Katolik sebanyak 6,9 juta jiwa
(2,91 persen). Sedangkan pemeluk
agama Hindu yakni 4.012.116 jiwa (1,69 persen). Agama Budha sebanyak 1.703.254
jiwa (0,72 persen). Kemudian, agama termuda yang diakui pemerintah Indonesia,
Khong Hu Chu,
dianut sekitar 117,1 ribu jiwa (0,05 persen).[2] Berdasarkan hasil dari sensus di atas, islam menempati peringkat
pertama dalam jumlah penganut di
Indonesia, sehingga menjadikan agama islam sebagai suatu agama mayoritas di
antara agama-agama lain. Faktor ini dibandingkan faktor-faktor lainnya sering
sekali dijadikan kambing hitam dalam banyaknya konflik antar agama di
Indonesia. Padahal, tidak ada ajaran agama manapun yang mengajarkan umatnya
untuk bertengkar. Karena semestinya, agama merupakan alat untuk memperoleh
kebahagian, ketentraman dalam menjalani kehidupan di dunia.
Selain faktor mayoritas, menurut Muhammad Awwad dalam jurnal Komunikasi dalam Bingkai Lintas Budaya dan Agama, terdapat
beberapa faktor lain yang dapat menimbulkan konflik antar penganut agama, yaitu
:
- Faktor
Pengaruh Politik-Ekonomi
Pengaruh
politik ekonomi ini merupakan perspektif kritis yang di
pergunakan sebagian oknum untuk menghancurkan kerukunan antar umat beragama.
Banyaknya kasus-kasus yang terjadi karena beberapa urusan dalam kepentingan berpolitik
lebih diutamakan daripada kerukunan suatu agama, sehingga berbagai carapun ditempuh
untuk memprioritaskan kepentingan politik tersebut.
-
Faktor
demografis
Faktor
ini berhubungan juga dengan faktor mayoritas dan pengaruh politik dan ekonomi,
konflik yang terjadi biasanya didasari oleh pembagian wilayah kekuasaan suatu
agama di wilayah tertentu.
-
Faktor
pengaruh media
Pengaruh
media mempunyai dampak yang besar di kehidupan kita. Karena kemajuan teknologi
saat ini, sangatlah mudah kita dalam menerima informasi apapun, darimanapun.Seperti
yang kita ketahui, terkadang berita yang diberitakan di media tidak selalu
seperti kenyataan yang terjadi. Kenyataannya banyak sekali masyarakat yang
langsung percaya pada suatu berita yang diberitakan tanpa mencari kebenarannya
terlebih dahulu, oleh karena itu terdapat beberapa oknum yang menjadikan faktor
ini untuk merusak kerukunan antara umat beragama, dengan menggunakan media
untuk mengadu domba sesama umat beragama.
Dari
faktor-faktor yang dijelaskan di atas, terdapat beberapa konflik antar agama
yang terjadi karena faktor-faktor di atas, yaitu: Konflik kerusuhan Poso, Konflik
Ambon, Konflik Tolikara, Konflik Aceh, Konflik di Lampung Selatan, Konflik Situbondo, Konflik Sampang.[3]
Konflik-konflik
ini pun tidak dengan segera meredah, karena tidak adanya komunikasi lagi yang
terjalin di antara penganut agama. Oleh Karena itu, kerukunan dalam beragama
memilki hubungan yang erat dengan komunikasi lintas budaya.
Dalam
berkomunikasi, tentu saja akan ada interaksi sosial yang muncul. Demikian
juga halnya dengan komunikasi lintas budaya, didalamnya terdapat interaksi
antara kelompok umat beragama.
Interaksi ini kemudian menghasilkan kerukunan antarumat beragama, tetapi disisi lain juga terdapat
konflik yang sifatnya sangat minor. Menurut Gillin dan Gillin (1954) dikutip dalam jurnal Komunikasi Lintas
Budaya dalam Menjaga Kerukunan antara
Umat Beragama di Kampung Jaton Minahasa oleh
Sinta Paramita dan Wulan Purnama Sari., ada dua bentuk interaksi
sosial, pertama interaksi yang dibentuk oleh proses asosiatif (kerja sama,
akomodasi, dan asimilasi), kedua interaksi yang dibentuk oleh faktor disosiatif
(persaingan, kontravensi dan konflik).
Proses asosiatif yang pertama adalah kerja sama yang
merupakan usaha bersama antara individu atau kelompok untuk mencapai satu atau
beberapa tujuan bersama. Kerja sama ini lahir apabila di antara individu atau
kelompok tertentu menyadari adanya kepentingan dan ancaman yang sama. Proses
asosiatif yang kedua adalah akomodasi. akomodasi sebagai suatu proses orang
perorangan atau kelompok manusia yang semula saling bertentangan, kemudian
saling mengadakan penyesuaian diri untuk mengatasi ketegangan-ketegangan. Lebih
lanjut akomodasi sebenarnya merupakan suatu cara untuk menyelesaikan
pertentangan tanpa harus menghancurkan pihak lawan sehingga lawan tidak
kehilangan kepribadiannya.
Asimilasi merupakan proses ketiga dari proses asosiatif yang
juga merupakan proses interaksi sosial dalam tahap lanjut, yang ditandai dengan
adanya usaha untuk mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara
orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha
untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap, dan proses-proses mental dengan memperhatikan
kepentingan dan tujuan bersama.
Proses berikutnya yang dikembangkan oleh Gillin dan Gillin
adalah proses disosiatif sering disebut sebagai oppositional processes,
yang persis halnya dengan kerja sama, dapat ditemukan dalam tiap masyarakat
walaupun bentuk dan arahnya ditentukan oleh kebudayaan dan sistem sosial
masyarakat yang bersangkutan. Pertama persaingan atau kompetisi dapat diartikan
sebagai suatu proses interaksi sosial, dimana individu atau kelompok manusia
yang saling bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang
pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum dengan cara menarik
perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada tanpa
mempergunakan ancaman atau kekerasan. Persaingan pada umumnya memiliki dua
tipe, yaitu yang bersifat pribadi dan tidak pribadi.
Proses disosiatif yang kedua adalah kontravensi yang pada
hakikatnya merupakan suatu bentuk proses sosial yang berada antara persaingan
dan pertentangan atau pertikaian. Kontravensi terutama ditandai oleh
gejala-gejala adanya ketidakpastian mengenai diri seseorang atau suatu rencana
dan perasaan yang tidak suka disembunyikan terhadap kepribadian seseorang.
Proses disosiatif yang terakhir adalah konflik yang merupakan proses individu
ataupun kelompok menyadari memiliki perbedaan-perbedaan, misalnya dalam ciri
fisik, unsur kebudayaan, pola-pola perilaku, prinsip, politik, ideologi maupun
kepentingan dengan pihak lain. Perbedaan ciri tersebut dapat mempertajam
perbedaan yang ada hingga menjadi suatu pertentangan atau pertikaian yang mana
pertikaian itu sendiri dapat menghasilkan ancaman dan kekerasan fisik.
Setelah membahas interkasi sosial
yang terjadi ketika berkomunikasi, tidak dapat dipungkiri hubungannya sangat
erat dalam kehidup beragama di Indonesia. Selain faktor-faktor yang menyebabkan
konflik, interkasi di masyarakat juga tidak kalah ambil alih dalam penyebab
terjadinya konflik antar umat beragama, walaupun penyebabnya adalah hal-hal
atau masalah sepele yang terjadi di masyarakat. Sangat disayangkan jika
kerukunan yang sudah terjalin erat, hancur karena kesalahpahaman dan hal-hal
yang sepele. Oleh karena itu, kita sebagai umat beragama harus menjaga
kerukunan antar umat agama, toleransi, dan tentu saja tidak langsung menghakimi
tanpa mengetahui asal usul masalah yang terjadi. Jika kita dapat melakukan
hal-hal sederhana seperti ini, ketentraman dan kerukunan beragama tidaklah
sulit kita dapatkan.
3. Kesimpulan
Indonesia merupakan Negara yang
memiliki agama-agama penyatu kebangsaan. Karena keberagamannya tersebut, tidak
jarang konflik datang menghampiri. Biasanya konflik-konflik ini disebabkan oleh
faktor-faktor berupa faktor mayoritas, pengaruh politik dan ekonomi, demografis
dan pengaruh media.
Karena konflik tersebut menyebabkan
rusaknya komunikasi yang terjalin dalam masyarakat. Komunikasi yang terjalin
inilah yang merupakan pondasi yang kuat dalam kerukunan antar umat beragama.
Sehingga tidak dapat dipungkiri terdapat hubungan yang erat antara kerukunan
umat beragama dan komunikasi lintas budaya.
Dalam
komunikasi terdapat interaksi-interaksi sosial yang terjadi. Interaksi
sosial ini dibagi 2 bentuk yaitu, pertama interaksi yang dibentuk oleh proses asosiatif (kerja
sama, akomodasi, dan asimilasi), kedua interaksi yang dibentuk oleh faktor
disosiatif (persaingan, kontravensi dan konflik).
Oleh karena itu, kita sebagai umat
beragama harus memiliki sifat toleransi terhadap umat agama lainnya, agar
terjadinya ketentraman dan kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
https://ilmupengetahuanumum.com/agama-agama-di-indonesia/UPLOAD : 19.00,14/5/18
https://tumoutounews.com/2017/11/08/jumlah-penganut-agama-di-indonesia-tiap-provinsi/ UPLOAD : 19.00, 14/5/18
https://hukamnas.com/contoh-konflik-antar-agama UPLOAD : 19.00, 14/5/18
Paramita, Sinta , Sari, Wulan
Purnama. Komunikasi
Lintas Budaya dalam Menjaga Kerukunan antara Umat Beragama
di Kampung Jaton Minahasa. Jakarta. Fakultas Ilmu
Komunikasi Universitas Tarumanagara. 2016
Awwad, Muhammad. Komunikasi Dalam Bingkai Lintas Budaya Dan Agama. Mataram. Fakultas Dakwah dan
Komunikasi Institut Agama Islam Negeri IAIN Mataram.
[1] https://ilmupengetahuanumum.com/agama-agama-di-indonesia/
[2] https://tumoutounews.com/2017/11/08/jumlah-penganut-agama-di-indonesia-tiap-provinsi/
[3] https://hukamnas.com/contoh-konflik-antar-agama
Comments
Post a Comment